A.
Pengertian
Al-Qardh
Qardh dalam arti
bahasa berasal dari kata qarada yang sinonimnya qatha’a yang
berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang
memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima
utang (muqtaridh). [1]
Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh Hanafiah
sebagai berikut:
القرض هو ما تعطيه من ما ل مثلي لتتقا ضا ه ، او بعبا رة أخرى هو عقد
مخصوص يردعلى د فع ما ل مثلي لأ خرليرد مثله.
“Qardh adalah harta yang diberikan kepada
orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau
dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk
menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan
persis seperti yang diterimanya.”
Sedangkan Sayid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai
berikut:
القرض هو الما ل الذي يعطيه المقرض للمقترض ليرد مثله إ ليه عند قدرته
عليه.
“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi utang
(muqridh) kepada penerima utang (muqtaridh) untuk kemudian dikembalikan kepadanya
(muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”
Adapula definisi qardh menurut kalangan Hanabilah sebagai
berikut:
القرض د فغ ما ل لمن ينتفع به ويرد بد له.
“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memenfaatkannya
dan kemudian mengembalikan penggantinya.”
Kemudian definisi qardh menurut kalangan Syafi’iyah adalah
sebagai berikut:
القرض يطلق شرعا بمعنى الشيء المقرض.
“Qardh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang
diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).”
Sedangkan dalam buku Antonio Syafi’i disebutkan bahwa, Al-Qardh[2]
adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta
kembali tau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam
literatur fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui
atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.
B.
Dasar
Hukum Al-Qardh
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan
firman Allah SWT dan hadist Nabi.[3]
Ayat yang memperbolehkan transaksi qardh adalah QS. AL-Hadiid ayat 11,
yang artinya: “siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang
baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan
memperoleh pahala yang banyak.”
Dasar hukum dari al-quran yang lain juga disebutkan dalam QS.
Al-Baqarah ayat 245, yang berbunyi:
مَنْ ذَا
الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا
كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (٢٤٥)
Artinya: “Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkakahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki)
dan kepakda-Nya lah kamu dikembalikan.”
Dasar hukum lain yang berasal dari hadist Nabi yaitu, Rasulullah
bersabda:
عن ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه و سلم قا ل ما من مسلم يقرض
مسلما قرضا مرتين إلا كان كصد قتها مرة.
Artinya: Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda ,
“Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali
kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah.” (HR. Ibnu Majjah)
عن أنس بن ما لك قال قال رسول الله صلى الله علبه و سلم رأ يت ليلة
أسري بي على باب الجنة مكتو با الصد قة بعشر أمثالها والقرض بثما نية عشر فقلت يا
جبريل ما با ل القرض أفضل من الصد قة قال لأن السا ئل يسأ ل و عنده والمستقرض
لايستقرض إلا من حا جة.
Artinya: Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda,” aku
melihat pada waktu malam di-isra’kan, pada pintu surga tertulis: sedekah
dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai
Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah? Ia menjawab, karena
peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam
kecuali karena keperluan.” (HR. Ibnu Majjah)[4]
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من نفس عن مسلم كربة
من كرب الد نيا نفس الله عنه كربة من كر ب يوم القيامة ، ومن يسرعلى مسعرفى الد
نيا يسرالله عليه فى ال نيا والأخرة ، ومن ستر على مسلم في الد نيا ستر الله عليه
في الد نيا والأخرة ، والله في عون العبد في عون أخيه.
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda:
Barangsiapa yang melepaskan dari seorang musli kesusahan dunia, maka Allah akan
melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; dan barangsiapa yang memberikan
kemudahan kepada oarng yang sedang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah
akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa
yang menutupi ‘aib seorang muslim di dunia, maka Allah akn menutupi ‘aibnya di
dunia dan di akhirat; dan Allah akan senantiasa menolonh hambanya, selama hamba
itu menolong saudaranya.” (HR. At-Tirmidzi)[5]
Berdasarkan beberapa dalil yang tertera diatas, dapat kita ambil
kesimpulan bahwasanya pinjaman itu dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu
pinjaman seorang hamba kepada Tuhannya dan pinjaman seorang muslim terhadap
saudaranya atau sesama. Pinjaman seorang hamba terhadap Tuhannya dapat
diwujudkan dalam bentuk infaq, sadaqoh, santunan anak yatim, dll. Sedangkan
pinjaman seorang muslim terhadap saudara atau sesamanya dapat tercermin pada
transaksi yang biasa kita temui sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat,
dimana seseorang meminjam suatu barang atau uang kepada temannya untuk memenuhi
kebutuhannya yang nantinya harus dikembalikan ketika ia sudah mampu untuk
mengembalikannya.
C.
Rukun
dan Syarat Al-Qardh
Seperti halnya jual beli, rukun qardh juga diperselisihkan
oleh para fuqaha. Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul.
Sedangkan menurut jumhur fuqaha, rukun qardh adalah aqid (muqridh dan
muqtaridh), ma’qud ‘alaih (uang atau barang), dan shighat
(ijab dan qabul).[6]
a.
‘Aqid
Untuk ‘aqid baik muqridh maupun muqaridh
disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki
ahliyatul ada’. Oleh karena itu, qardh tidak sah apabila
dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur atau orang gila. Syafi’iyah
memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain:
Ø Ahliyah atau
kecakapan untuk melakukan tabarru’
Ø Mukhtar (memiliki
pilihan)
Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki ahliyah
atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur
‘alaih.
b.
Ma’qud
‘Alaih
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah, yang menjadi objek dalam al-qardh sama dengan objek akad salam,
baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat),
maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran),
seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung. Atau dengan
perkataan lain, setiap barang yang dijadikan objek jual beli, boleh juga
dijadikan objek akad qardh.
Hanafiah mengemukakan bahwa ma’qud ‘alaih hukumnya sah dalam
mal mitsli. Namun, barang-barang qimiyat seperti hewan, tidak
boleh dijadikan objek qardh karena sulit mengembalikan dengan barang
yang sama.
c.
Shighat (ijab dan qabul)
Qardh adalah suatu
akakd kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad tersebut tidak sah tanpa
adanya ijab qabul, sama halnya seperti akad jual beli dan hibah.
Shighat ijab bisa
dengan menggunakan lafal qardh (utang atau pinjam) dan salaf
(utang), atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya
milikkan kepadamu barang ini, dengan ketentuan anda harus mengembalikan kepada
saya penggantinya.” Penggunaan kata milik disini bukan berarti diberikan
cuma-cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar.
Penggunaan lafal salaf untuk qardh didasarkan pada
hadist Abu Rafi’:
وعن أبي رافع قال : استلف النبي صلى الله عليه وأله وسلم بكرا فجاء ته
إبل الصد قة فأ مرني أن أقضي الرجل بكره ، فكلت : إني لم أجد في الإبل إلا جملا
خيارا رباعيا فقال : أعطه إياه فإن من خير الناس أحسنهم قضاء.
Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berhutang seekor unta perawan,
kemudian datanglah untu hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kepada saya untuk
membayar kepada laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya
berkata: ‘Saya tidak menemukan disalam untu-unta hasil zakat itukecuali unta
yang berumur enam masuk tujuh tahun.’ Nabi kemudian bersabda: ‘Berikan saja
unta tersebut, karena sebaik-baik manusia itu adalah orang yang paling baik
dalam membayar utang.”
(HR. Jama’ah kecuali Bukhari)
D.
Pendapat
Para Ulama’ Tentang Ketentuan-ketentuan yang Terkait Dengan Al-Qardh
Beberapa ulama’ berpendapat tentang akad al-qardh yang
diperbolehkan menurut syariat islam, diantaranya sebagai berikut:[7]
Pertama, Mazhab
Maliki berpendapat bahwa hak kepemilikan dalam shadaqah dan ariyah berlangsung
dengan transaksi, meski tidak menjadi qabdh atas harta. Muqtaridh
diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dihutang dan boleh juga
mengembalikan harta yang dihutang itu sendiri. Baik harta itu memiliki
kesepadanan atau tidak, selama tidak mengalami perubahan; bertambah atau
berkurang, jika berubah maka harus mengembalikan harta yang semisalnya.
Kedua, Mazhab
Syafi’i menurut riwayat yang paling shahih dan mazhab Hambali berpendapat, hak
milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Menurut Syafi’i muqtaridh
mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang dihutang adalah harta yang
sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya dan jika yang
dihutang adalah yang memiliki nilai, ia mengembalikan dengan bentuk yang semisal,
karena Rasulullah saw telah berutang unta usia bikari lalu mengembalikan unta
usia ruba’iyah, seraya berkata “sesunguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling
baik dalam membayar utang”.
Ketiga,
Hanabilah mengharuskan pengembalian harta semisal jika yang dihutang adalah
harta yang bisa ditakar dan ditimbang, sebagaimana kesepakatan di kalangan para
ahli fiqih. Sedangkan jika obyek qardh bukan harta yang ditakar dan
ditimbang, maka ada dua versi: harus dikembalikan nilainya pada saat terjadi qardh,
atau harus dikembalikan semisalnya dengan kesamaan sifat yang mungkin.
Sedangkan
dalam hal al-qardh yang mendatangkan keuntungan, para ulama juga
memiliki pendapat yang berbeda-beda, diantaranya sebagai berikut:[8]
Pertama, Mazhab
Hanafi dalam pendapatnya yang paling kuat menyatakan bahwa qardh yang
mendatangkan keuntungan hukumnya haram, jika keuntungan tersebut disepakati
sebelumnya. Jika belum disepakati sebelumnya dan bukan merupakan tradisi yang
biasa berlaku, maka tidak mengapa. Begitu juga hukum hadiah bagi muqridh.
Jika ada dalam persyaratan maka dimakruhkan, kalau tidak maka tidak makruh.
Kedua, Mazhab
Maliki menyatakan bahwa tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari harta muqtaridh,
seperti menaiki untanya dan makan di rumahnya karena hutang tersebut dan bukan
karena penghormatan dan semisalnya. Sebagaimana hadiah dari muqtaridh
diharamkan bagi pemilik harta jika tujuannya untuk penundaan pembayaran hutang
dan sebagainya.
Ketiga, Mazhab
Syafi’I dan Hanabilah berpendapat bahwa qardh yang mendatangkan
keuntungan tidak diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu dinar dengan syarat
rumah orang tersebut dijual kepadanya. Atau dengan syarat dikembalikan seribu
dinar dari mutu yang lebih baik atau dikembaliakan lebih banyak dari itu. Karena
Nabi SAW melarang hutang bersama jual beli.
Keempat,
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili jika seseorang mengutangkan kepada orang lain tanpa
ada persyaratan tertentu, lalu orang tersebut membayarnya dari jenis yang lebih
baik atau jenis yang lebih banyak, atau menjual rumahnya kepada pemberi hutang,
diperbolehkan dan muqridh boleh mengambilnya.
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa, akad al-qardh dapat dilakukan dengan
memenuhi 2 ketentuan yaitu:
1.
Tidak mendatangkan keuntungan. Jika keuntungan
tersebut untuk muqridh, maka para ulama sudah bersepakat bahwa ia tidak
diperbolehkan. Karena ada larangan dari syariat dan karena sudah keluar dari
jalur kebajikan, jika untuk muqtaridh, maka diperbolehkan. Dan jika
untuk mereka berdua, tidak boleh, kecuali jika sangat dibutuhkan. Akan tetapi
ada perbedaan pendapat dalam mengartikan “sangat dibutuhkan”.
2.
Tidak dibarengi dengan transaksi lain, seperti
jual beli dan lainnya. Adapun hadiah dari pihak muqtaridh, maka menurut
Malikiah tidak boleh diterima oleh Muqridh karena mengarah pada tanbahan
atas pengunduran. Sedangkan Jumhur ulama membolehkan jika bukan merupakan
kesepakatan. Sebagaimana diperbolehkan jika antara Muqridh dan Muqtaridh
ada hubungan yang menjadi fakor pemberian hadiah dan bukan karena hutang
tersebut.
E.
Aplikasi Al-Qardh dalam Lembaga Keuangan
Syariah
Al-qardh
merupakan salah satu jenis produk pembiayaan pada Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) atau perbankan syariah. Pembiayaan al-qardh merupakan pembiayaan khusus
yang membutuhkan sumber dana tersendiri. Sumber dana untuk pembiayaan ini
antara lain dari bagian modal yang dialokasikan khusus ataupun dari dana zakat,
infaq, dan shadaqah. Oleh karena itu, pembiayaan ini biasanya diarahkan untuk
pihak-pihak yang sangat membutuhkan seperti fakir miskin yang ingin berusaha, dan
lain-lain. Dari produk pembiayaan ini lebih berkarakter sosial daripada
ekonomis.
Mengingat
bahwa peruntukannya adalah bagi pengusaha kecil yang memiliki kelemahan
profesionalisme, maka biasanya sistem pelunasan yang ditetapkan adalah harian,
bukannya bulanan. Hal ini untuk menghindari resiko pemanfaatan dana untuk
selain usaha (side streaming). Namun demikian bank harus memiliki
program pembiayaan yang jelas dan efektif agar nasabah yang bersangkutan tidak
selamanya berusaha dalam skala kecil.[9]
Berikut
adalah berbagai contoh pengaplikasian al-qardh
dalam lembaga keuangan syariah terutama dalam perbankan syariahi:[11]
1.
Sebagai
pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan
melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
2.
Sebagai
pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah
diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah
akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
3.
Sebagai
pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli,
ijarah, atau bagi hasil. Dalam hal ini telah dikenalkan produk khusus dalam
perbankan syariah yang disebut Qardhul Hasan.[12]
Jika produk tersebut dikonversikan pada sistem peminjaman
pada perbankan syariah dapat digambarkan dalam tahapan berikut. Pertama,
perbankan memberikan dana qard hasan pada pihak pengaju pinjaman dengan
identifikasi: dana sesuai yang dibutuhkan dan dana untuk usaha produktif
(apabila yang diajukan diawal untuk usaha konsumtif). Kedua, perbankan
memberikan panduan pengelolaan dana untuk usaha konsumtif. Langkah ketiga
adalah dengan memberikan pembinaan khusus untuk pengelolaan dana produktif dari
produk qard hasan. Selanjutnya mengevaluasi hasil usaha dan tata kelola
dari usaha tersebut. Dan langkah terakhir adalah bank syariah memberikan
fasilitas trading house bagi pihak pengelola dana produktif.
4.
Sebagai
pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk
memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan
mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
Dalam
prakteknya pada poin pertama jasa yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syari'ah
(LKS) untuk menalangi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) kurang
tepat bila digunakan istilah al-Qardh (meminjamkan), karena dalam Islam,
pinjam meminjam adalah akad sosial, bukan akad komersial. Artinya bila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh disyaratkan untuk
memberikan tambahan atas jasa pokok pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadis
Nabi saw yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah
riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu, dalam
Lembaga Keuangan Syari'ah pinjaman tidak disebut kredit, tapi pembiayaan (financing).
Dalam kasus ini, bila
nasabah datang ke Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) dan ingin meminjam uang untuk
keperluan naik haji karena biaya yang tersedia tidak cukup, maka ia harus
melakukan akad ijarah (sewa) dan bukan akad qardh (meminjam).
Karena jika LKS memberikan pinjaman kepada nasabah atas nama akad qardh untuk
membantu menalangi pembiayaan haji, maka LKS tidak boleh mengambil keuntungan
dari pinjaman itu.
Sebagai lembaga
komersial yang mengharapkan keuntungan, LKS tentu tidak mungkin melakukannya.
Karena itu, akad yang harus dilakukan di awal adalah akad ijarah (sewa),
di mana LKS dapat mengambil keuntungan dari harga sewa atau harga produk yang
disewakan tersebut. Akad seperti inilah yang diperbolehkan dalam Islam.[13]
F. Manfaat dari Al-Qardh
Beberapa manfaat yang
dapat diperoleh dari pengaplikasian al-qardh dalam lembaga keuangan
syariah atau perbankan syariah antara lain:[14]
1. Pertama pencitraan masyarakat
dan nasabah terhadap performa Bank Syariah sebagai sebuah bank yang bisa
memberikan bantuan dalam peningkatan perekonomian untuk kaum dhuafa.
2. Kedua, bank akan dari awal
bisa membina calon-calon nasabah potensial yang bisa dibantu melalui produk
pembiayaan komersil yang dimiliki, karena telah teruji di saat nasabah tersebut
menikmati produk Qardhul Hasan. Umumnya nasabah yang loyal akan memperlihatkan
kolektibiliti yang baik sehingga Bank bisa membantu dari jumlah awal yang kecil
(Qardhul Hasan) sampai ke jumlah yang besar (pembiayaan komersil).
3. Ketiga, jika pengelolaan dana
Qardh tersebut dilakukan dengan baik, hal ini akan mendorong keinginan dari muzakki
lainnya untuk mempercayakan zakatnya untuk dikelola oleh Bank Syariah.
4. Keempat, kepercayaan dari stakeholder
akan lebih meningkat karena Bank Syariah bisa melakukan bisnis akhirat secara
baik dan bisa memberikan manfaat bagi daerah. Kelima, secara tidak langsung,
promosi terhadap produk-produk bank akan terbantu melalui nasabah qardhul
hasan.
5. Kelima,[15] secara makro qardh
akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan.
Hal ini disebabkan karena pemberian Qard membuat velocity of money
(percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya
darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional (National Income)
meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman
akan meningkat pula pendapatannya.
G.
Contoh
Aplikasi Al-Qardh dalam Perbankan Syariah (Bank Syariah Mandiri)
Salah satu bentuk aplikasi al-qardh dalam perbankan syariah adalah
pemberian dana talangan haji.pembiayaan dana talangan haji pada Bank Syariah
Mandiri adalah pinjaman dana talangan bank kepada nasabah khusus menutupi
kekurangan dana untuk memperoleh kursi/seat haji dan pada saat pelunasan BPIH
(Biaya Perjalanan Ibadah Haji).
Besarnya noiminal BPIH sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
Departemen Agama.untuk 5 tahun terakhir sejak 2005 sampai 2009 besarnya BPIH
adalah Rp 20.000.000,- namun sejak Mei tahun 2010, BPIH naik menjadi Rp
25.000.000,-.
Persyaratan
bagi nasabah (calon jamaah haji) adalah harus mempunyai atau membuka rekening “Tabungan
Mabrur.” Tabungan mabrur merupakan jenis produk pendanaan bank, melalui
tabungan mabrur nasabah bisa mendapatkan dana talangan haji BSM. Tabungan
mabrur merupakan simpanan dalam mata uang rupiah yang bertujuan membantu
masyarakat muslim dalam merencanakan ibadah haji dan umrah. Tabungan ini
dikelola berdasarkan prinsip Mudharabah Muthlaqah, penyetoran
awal terbilang Rp500.000,00. Tabungan Mabrur dilakukan nasabah yang ingin
menabung untuk tujuan pebayaran BPIH, tetapi waktu nasabah bisa mendapatkan
porsi haji tergantung dengan kemampuannya dalam menabung. Lain halnya dengan
dana talangan haji yang sudah jelas nasabah dengan waktu cepat mendapat dapat
porsi haji.
Batas waktu
pembayaran pembiayaan dana talangan haji maksimal 1 tahun setelah pengajuan
pembiayaan. Selama masa pembayaran, nasabah boleh mencicil atau langsung tunai,
karena bank akan mengambil secara sekaligus pada saat akhir batas pembayaran
melalui tabungan mabrur. Apabila nasabah tidak mampu membayar dari waktu yang
sudah ditentukan, maka diberikan perpanjangan waktu untuk 1 tahun kedepan
sampai sebelum 73 keberangkatan ibadah haji dengan membayar biaya administrasi
satu tahun kedepan.
Dalam
prakteknya, BSM dalam pembiayaan dana talangan haji bertindak sebagai penyalur
yang membantu pengurusan pendafaran haji. Selanjutnya untuk daftar sebagai
calon jamaah haji adalah tanggungjawab penuh nasabah. Nasabah (calon jamaah
haji) memberikan kuasa pada bank untuk mengurusi semua yang menjadi persyaratan
untuk mendapatkan porsi. Setelah berkas-berkas dan kekurangan BPIH untuk mendapatkan
porsi sudah terpenuhi, maka nasabah bisa langsung daftar ke Departemen Agama.
Untuk pengajuan
talangan haji BSM nasabah (calon jamaah haji) harus melalui beberapa tahapan.
Secara garis besar, langkah-langkah penanganan Dana Talangan Haji pada Bank Syariah
Mandiri, sebagai berikut:
1.
Tahap
ke-1, BSM Cabang Malang menerima permohonan pembiayaan dana talangan haji dari
nasabah
2.
Tahap
ke-2, bagian marketing menganalisa dengan mengacu pada Pedoman Pembiayaan PT
Bank Syariah Mandiri. Tbk.
3.
Tahap
ke-3, pembukaan rekening Tabungan Mabrur BSM
4.
Tahap
ke-4, meminta nasabah memenuhi saldo minimal Tabungan Mabrur BSM, self
financing biaya pendafataran haji sebagai dasarpengajuan talangan
pendafaran haji dan biaya-biaya yang dikenakan kepada nasabah.
5.
Tahap
ke-5, bagian marketing menyerahkan data calon jamaah haji kepada kepala cabang.
Pada tahap ini data-data yang telah dianalisa oleh marketing diajukan kepada
kepala cabang untuk mendapat persetujuan.
6.
Tahap
ke-6, bagian marketing membuat SP3, memo, dan akad Setelah mendapat
persetujuan, membuat surat permohonan pengajuan pembiayaan, memo, dan akad. Dan
akan diserahkan kepada calon jamaah haji yang mengajukan talangan.
7.
Tahap
ke-7, bagian administrasi pembiayaan mengecek kelengkapan data calon jamaah
haji.
8.
Tahap
ke-8, bagian administrasi pembiayaan menyerahkan data MO dan KC dan menyerahkan
kepada manager operasional dan kepala cabang untuk dianalisa kembali dan
mendapatkan persetujuan. Kantor Cabang melakukan penandatanganan akad.
9.
Tahap
ke-9, bagian administrasi melakukan pencairan dana langsung ke rekening
tabungan calon jamaah haji serta menginput SPPH untuk mendapatkan porsi .
10.
Tahap
ke-10, MO melakukan monitoring pada dana talangan yang diajukan.
Syarat-Syarat Permohonan Dana Talangan Haji
Sebelum
melakukan permohonan dana talangan haji BSM, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh pemohon.
1.
Syarat
Pemohon
Pemohon
pembiayaan dibatasi hanya nasabah yang telah memiliki “Tabungan Mabrur BSM” dan
menyetorkan BPIH melalui Bank dengan kriteria:
a)
Cakap
hukum.
b)
Perorangan
yang mempunyai pekerjaan yang tetap dan/atau yang menurut penilaian Bank
diyakini memiliki kemampuan mengembalikan dana talangan haji tepat pada
waktunya.
c)
Bersedia
memberikan jaminan sesuai ketentuan Bank. Nisbah memberikan jaminan kepada
pihak bank sesuai surat akad.
2.
Permohonan
Dana Talangan Pendaftaran Haji:
a. Nasabah Perorangan, melengkapi:
·
Fotokopi
KTP pemohon
·
Fotokopi
KTP suami/istri pemohon (apabila telah menikah)
·
Fotokopi
Kartu Keluarga dan Surat Nikah (bila sudah menikah)/Surat Cerai (bila
janda/duda)
·
Surat
pernyataan batal haji.
·
Surat
permohonan pengunduran diri dari calon jamaah haji kepada Kantor Departemen
Agama setempat
·
Surat
kuasa pengurusan pembatalan haji.
·
Menyediakan
kekurangan dana pendaftaran haji yang menjadi beban nasabah pada rekening Tabungan
Mabrur BSM atas nama nasabah/calon haji
·
Fotokopi
Tabungan Mabrur BSM. Nasabah dalam mengajukan talangan haji harus mempunyai
Tabungan Mabrur BSM.
b. KBIH/PIHK, melengkapi:
·
Fotokopi
Akta Pendirian/Anggaran Dasar.
·
Fotokopi
KTP pengurus/pihak yang berwenang mengajukan permohonan pembiayaan sebagaimana
diatur dalam Akte Pendirian/Anggaran Dasar
·
Fotokopi
Surat Ijin Operasional dari Departemen Agama
·
NPWP
(untuk pembiayaan dengan limit di atas Rp50 juta)
·
Daftar
nama calon haji yang akan diajukan untuk memperoleh talangan pendaftaran haji
·
Menyediakan
kekurangan dana pendaftaran haji yang menjadi beban seluruh calon haji di bawah
tanggung jawab KBIH dimaksud pada rekening Tabungan Mabrur BSM atas nama
masing-masing calon haji yang diblokir oleh bank
·
Fotokopi
KTP calon jamaah haji yang akan diajukan untuk memperoleh talangan pendaftaran
haji
·
Fotokopi
Tabungan Mabrur BSM calon jamaah haji yang akan diajukan untuk memperoleh dana
talangan haji.
Untuk
permohonan pembiayaan dana talangan haji yang diajukan oleh KBIH/PIHK, selain
surat permohonan dana talangan haji dari KBIH/PIHK, juga wajib dilampiri
permohonan pembiayaan dan sudah menandatangani dokumen-dokumen yang melalui
KBIH/PIHK.
Dalam pratek
Akad Qardh, Bank tidak megambil keuntungan sesuai dengan Prinsip
Syariah, bank hanya bertindak sebagai pemberi pinjaman dan nasabah hanya wajib
mengembalikan pokok utang pada waktu tertentu yang sudah disepakati dimasa yang
akan datang. Keuntungan didapat dari penggunaan akad ijarah, yaitu
dengan mengambil upah jasa dari biaya administrasi atau lebih dikenal dengan (fee
ujroh) dari setiap dana yang disediakan oleh bank. Biaya-biaya administrasi
(fee ujroh) itu terbagi menjadi tiga kategori, diantaranya;
·
RP
1.000.000 (FEE UJROH)
·
RP
1.300.000 (FEE UJROH)
·
RP
1.500.000 (FEE UJROH)
Fasilitas Pembiayaan dana talangan haji Bank Syariah Mandiri:
1)
Pinjaman
dana dalam bentuk rupiah.
2)
Jangka
waktu maksimum pembayaran 12 bulan atau 1 tahun pembayaran dapat diangsur
setiap bulan atau dibayar sekaligus sebelum jatuh tempo.
3)
Nominal
talangan haji dan fee ujroh yang harus dibayar.
4)
Saat
ini jumlah nominal yang disediakan oleh bagi calon haji yang menggunakan jasa
Talangan Haji BSM adalah sebagai berikut:
·
Rp10.000.000,00
fee ujroh yang harus dibayar Rp1.000.000,00
·
Rp15.000.000,00
fee ujroh yang harus dibayar Rp1.300.000,00
·
Rp18.000.000,00
fee ujroh yang harus dibayar Rp1.500.000,00
Dana Talangan Haji Yang Disediakan
Bank Syariah Mandiri
Talangan: Rp 10.000.000
|
|||
Kekurangan biaya
|
Ujroh (upah jasa)
|
Minimal setoran awal tabungan mabrur
|
Total biaya
|
Rp 10.000.000
|
Rp 1.000.000
|
Rp 500.000
|
Rp 11.500.000
|
Talangan: Rp 15.000.000
|
|||
Kekurangan biaya
|
Ujroh (upah jasa)
|
Minimal setoran awal tabungan mabrur
|
Total biaya
|
Rp 5.000.000
|
Rp 1.300.000
|
Rp 500.000
|
Rp 6.800.000
|
Talangan: Rp 18.000.000
|
|||
Kekurangan biaya
|
Ujroh (upah jasa)
|
Minimal setoran awal tabungan mabrur
|
Total biaya
|
Rpp 2.000.000
|
Rp 1.500.000
|
Rp 500.000
|
Rp 4.000.000
|
[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2010),
hal. 273-274.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 131.
[3] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2010),
hal. 276.
[4] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 132.
[5] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2010),
hal. 276.
[6] Ibid., hal. 278.
[7] Mul Irawan, http://mul1rawan.wordpress.com/category/tinjauan-fiqh-muamalah-terhadap-pembiayaan-al-qardh-dana-talangan-pada-perbankan-syariah-di-indonesia/.,
diakses tanggal 28 Maret 2012, pukul 18:46.
[8] Ibid.
[9] Sunarto Zulkifili, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah,
(Jakarta: Zikrul Hakim, 2003), hal. 85-86.
[10] Ismail, Bank Syariah, (Kencana: Jakarta, 2011), hal. 214.
[11] Adiwarman
A Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007), hal. 215.
[12] Mohammad Agus Khoirul Wafa, http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/08/14/remodelling-pola-realisasi-qordhul-hasan-pada-bank-syariah/,
diakses tanggal 28 Maret 2012, pukul 18:53.
[13] Imron Al-Husein, http://alhushein.blogspot.com/2011/12/qardh.html,
diakses tanggal 28 Maret 2012, pukul 18:40.
[14] Mohammad Agus Khoirul Wafa, http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/08/14/remodelling-pola-realisasi-qordhul-hasan-pada-bank-syariah/,
diakses tanggal 28 Maret 2012, pukul 18:53.
[15] Imron Al-Husein, http://alhushein.blogspot.com/2011/12/qardh.html,
diakses tanggal 28 Maret 2012, pukul 18:40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar