Kamis, 08 November 2012

al-Qardh


A.    Pengertian Al-Qardh
Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qarada yang sinonimnya qatha’a yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh). [1]
Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh Hanafiah sebagai berikut:
القرض هو ما تعطيه من ما ل مثلي لتتقا ضا ه ، او بعبا رة أخرى هو عقد مخصوص يردعلى د فع ما ل مثلي لأ خرليرد مثله.
Qardh adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
Sedangkan Sayid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:
القرض هو الما ل الذي يعطيه المقرض للمقترض ليرد مثله إ ليه عند قدرته عليه.
Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqridh) kepada penerima utang (muqtaridh) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.
Adapula definisi qardh menurut kalangan Hanabilah sebagai berikut:
القرض د فغ ما ل لمن ينتفع به ويرد بد له.
Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memenfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.”
Kemudian definisi qardh menurut kalangan Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
القرض يطلق شرعا بمعنى الشيء المقرض.
Qardh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).
Sedangkan dalam buku Antonio Syafi’i disebutkan bahwa, Al-Qardh[2] adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali tau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.
B.     Dasar Hukum Al-Qardh
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan firman Allah SWT dan hadist Nabi.[3] Ayat yang memperbolehkan transaksi qardh adalah QS. AL-Hadiid ayat 11, yang artinya: “siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
Dasar hukum dari al-quran yang lain juga disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 245, yang berbunyi:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (٢٤٥)
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkakahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepakda-Nya lah kamu dikembalikan.”
Dasar hukum lain yang berasal dari hadist Nabi yaitu, Rasulullah bersabda:
عن ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه و سلم قا ل ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصد قتها مرة.
Artinya: Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda , “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah.” (HR. Ibnu Majjah)
عن أنس بن ما لك قال قال رسول الله صلى الله علبه و سلم رأ يت ليلة أسري بي على باب الجنة مكتو با الصد قة بعشر أمثالها والقرض بثما نية عشر فقلت يا جبريل ما با ل القرض أفضل من الصد قة قال لأن السا ئل يسأ ل و عنده والمستقرض لايستقرض إلا من حا جة.
Artinya: Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda,” aku melihat pada waktu malam di-isra’kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah? Ia menjawab, karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.” (HR. Ibnu Majjah)[4]
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من نفس عن مسلم كربة من كرب الد نيا نفس الله عنه كربة من كر ب يوم القيامة ، ومن يسرعلى مسعرفى الد نيا يسرالله عليه فى ال نيا والأخرة ، ومن ستر على مسلم في الد نيا ستر الله عليه في الد نيا والأخرة ، والله في عون العبد في عون أخيه.
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: Barangsiapa yang melepaskan dari seorang musli kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; dan barangsiapa yang memberikan kemudahan kepada oarng yang sedang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang menutupi ‘aib seorang muslim di dunia, maka Allah akn menutupi ‘aibnya di dunia dan di akhirat; dan Allah akan senantiasa menolonh hambanya, selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. At-Tirmidzi)[5]
Berdasarkan beberapa dalil yang tertera diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya pinjaman itu dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu pinjaman seorang hamba kepada Tuhannya dan pinjaman seorang muslim terhadap saudaranya atau sesama. Pinjaman seorang hamba terhadap Tuhannya dapat diwujudkan dalam bentuk infaq, sadaqoh, santunan anak yatim, dll. Sedangkan pinjaman seorang muslim terhadap saudara atau sesamanya dapat tercermin pada transaksi yang biasa kita temui sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat, dimana seseorang meminjam suatu barang atau uang kepada temannya untuk memenuhi kebutuhannya yang nantinya harus dikembalikan ketika ia sudah mampu untuk mengembalikannya.
C.    Rukun dan Syarat Al-Qardh
Seperti halnya jual beli, rukun qardh juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur fuqaha, rukun qardh adalah aqid (muqridh dan muqtaridh), ma’qud ‘alaih (uang atau barang), dan shighat (ijab dan qabul).[6]
a.      ‘Aqid
Untuk ‘aqid baik muqridh maupun muqaridh disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’. Oleh karena itu, qardh tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur atau orang gila. Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain:
Ø  Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’
Ø  Mukhtar (memiliki pilihan)
Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih.
b.      Ma’qud ‘Alaih
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, yang menjadi objek dalam al-qardh sama dengan objek akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung. Atau dengan perkataan lain, setiap barang yang dijadikan objek jual beli, boleh juga dijadikan objek akad qardh.
Hanafiah mengemukakan bahwa ma’qud ‘alaih hukumnya sah dalam mal mitsli. Namun, barang-barang qimiyat seperti hewan, tidak boleh dijadikan objek qardh karena sulit mengembalikan dengan barang yang sama.
c.       Shighat (ijab dan qabul)
Qardh adalah suatu akakd kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad tersebut tidak sah tanpa adanya ijab qabul, sama halnya seperti akad jual beli dan hibah.
Shighat ijab bisa dengan menggunakan lafal qardh (utang atau pinjam) dan salaf (utang), atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya milikkan kepadamu barang ini, dengan ketentuan anda harus mengembalikan kepada saya penggantinya.” Penggunaan kata milik disini bukan berarti diberikan cuma-cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar.
Penggunaan lafal salaf untuk qardh didasarkan pada hadist Abu Rafi’:
وعن أبي رافع قال : استلف النبي صلى الله عليه وأله وسلم بكرا فجاء ته إبل الصد قة فأ مرني أن أقضي الرجل بكره ، فكلت : إني لم أجد في الإبل إلا جملا خيارا رباعيا فقال : أعطه إياه فإن من خير الناس أحسنهم قضاء.
Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berhutang seekor unta perawan, kemudian datanglah untu hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kepada saya untuk membayar kepada laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata: ‘Saya tidak menemukan disalam untu-unta hasil zakat itukecuali unta yang berumur enam masuk tujuh tahun.’ Nabi kemudian bersabda: ‘Berikan saja unta tersebut, karena sebaik-baik manusia itu adalah orang yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari)
D.    Pendapat Para Ulama’ Tentang Ketentuan-ketentuan yang Terkait Dengan Al-Qardh
Beberapa ulama’ berpendapat tentang akad al-qardh yang diperbolehkan menurut syariat islam, diantaranya sebagai berikut:[7]
Pertama, Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak kepemilikan dalam shadaqah dan ariyah berlangsung dengan transaksi, meski tidak menjadi qabdh atas harta. Muqtaridh diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dihutang dan boleh juga mengembalikan harta yang dihutang itu sendiri. Baik harta itu memiliki kesepadanan atau tidak, selama tidak mengalami perubahan; bertambah atau berkurang, jika berubah maka harus mengembalikan harta yang semisalnya.
Kedua, Mazhab Syafi’i menurut riwayat yang paling shahih dan mazhab Hambali berpendapat, hak milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Menurut Syafi’i muqtaridh mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang dihutang adalah harta yang sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya dan jika yang dihutang adalah yang memiliki nilai, ia mengembalikan dengan bentuk yang semisal, karena Rasulullah saw telah berutang unta usia bikari lalu mengembalikan unta usia ruba’iyah, seraya berkata “sesunguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam membayar utang”.
Ketiga, Hanabilah mengharuskan pengembalian harta semisal jika yang dihutang adalah harta yang bisa ditakar dan ditimbang, sebagaimana kesepakatan di kalangan para ahli fiqih. Sedangkan jika obyek qardh bukan harta yang ditakar dan ditimbang, maka ada dua versi: harus dikembalikan nilainya pada saat terjadi qardh, atau harus dikembalikan semisalnya dengan kesamaan sifat yang mungkin.
Sedangkan dalam hal al-qardh yang mendatangkan keuntungan, para ulama juga memiliki pendapat yang berbeda-beda, diantaranya sebagai berikut:[8]
Pertama, Mazhab Hanafi dalam pendapatnya yang paling kuat menyatakan bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan hukumnya haram, jika keuntungan tersebut disepakati sebelumnya. Jika belum disepakati sebelumnya dan bukan merupakan tradisi yang biasa berlaku, maka tidak mengapa. Begitu juga hukum hadiah bagi muqridh. Jika ada dalam persyaratan maka dimakruhkan, kalau tidak maka tidak makruh.
Kedua, Mazhab Maliki menyatakan bahwa tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari harta muqtaridh, seperti menaiki untanya dan makan di rumahnya karena hutang tersebut dan bukan karena penghormatan dan semisalnya. Sebagaimana hadiah dari muqtaridh diharamkan bagi pemilik harta jika tujuannya untuk penundaan pembayaran hutang dan sebagainya.
Ketiga, Mazhab Syafi’I dan Hanabilah berpendapat bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan tidak diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu dinar dengan syarat rumah orang tersebut dijual kepadanya. Atau dengan syarat dikembalikan seribu dinar dari mutu yang lebih baik atau dikembaliakan lebih banyak dari itu. Karena Nabi SAW melarang hutang bersama jual beli.
Keempat, Menurut Dr. Wahbah Zuhaili jika seseorang mengutangkan kepada orang lain tanpa ada persyaratan tertentu, lalu orang tersebut membayarnya dari jenis yang lebih baik atau jenis yang lebih banyak, atau menjual rumahnya kepada pemberi hutang, diperbolehkan dan muqridh boleh mengambilnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, akad al-qardh dapat dilakukan dengan memenuhi 2 ketentuan yaitu:
1.      Tidak mendatangkan keuntungan. Jika keuntungan tersebut untuk muqridh, maka para ulama sudah bersepakat bahwa ia tidak diperbolehkan. Karena ada larangan dari syariat dan karena sudah keluar dari jalur kebajikan, jika untuk muqtaridh, maka diperbolehkan. Dan jika untuk mereka berdua, tidak boleh, kecuali jika sangat dibutuhkan. Akan tetapi ada perbedaan pendapat dalam mengartikan “sangat dibutuhkan”.
2.      Tidak dibarengi dengan transaksi lain, seperti jual beli dan lainnya. Adapun hadiah dari pihak muqtaridh, maka menurut Malikiah tidak boleh diterima oleh Muqridh karena mengarah pada tanbahan atas pengunduran. Sedangkan Jumhur ulama membolehkan jika bukan merupakan kesepakatan. Sebagaimana diperbolehkan jika antara Muqridh dan Muqtaridh ada hubungan yang menjadi fakor pemberian hadiah dan bukan karena hutang tersebut.
E.     Aplikasi Al-Qardh dalam Lembaga Keuangan Syariah
Al-qardh merupakan salah satu jenis produk pembiayaan pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) atau perbankan syariah. Pembiayaan al-qardh merupakan pembiayaan khusus yang membutuhkan sumber dana tersendiri. Sumber dana untuk pembiayaan ini antara lain dari bagian modal yang dialokasikan khusus ataupun dari dana zakat, infaq, dan shadaqah. Oleh karena itu, pembiayaan ini biasanya diarahkan untuk pihak-pihak yang sangat membutuhkan seperti fakir miskin yang ingin berusaha, dan lain-lain. Dari produk pembiayaan ini lebih berkarakter sosial daripada ekonomis.
Mengingat bahwa peruntukannya adalah bagi pengusaha kecil yang memiliki kelemahan profesionalisme, maka biasanya sistem pelunasan yang ditetapkan adalah harian, bukannya bulanan. Hal ini untuk menghindari resiko pemanfaatan dana untuk selain usaha (side streaming). Namun demikian bank harus memiliki program pembiayaan yang jelas dan efektif agar nasabah yang bersangkutan tidak selamanya berusaha dalam skala kecil.[9]
Berikut adalah berbagai contoh  pengaplikasian al-qardh dalam lembaga keuangan syariah terutama dalam perbankan syariahi:[11]
1.      Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
2.      Sebagai pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
3.      Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil. Dalam hal ini telah dikenalkan produk khusus dalam perbankan syariah yang disebut Qardhul Hasan.[12] Jika produk tersebut dikonversikan pada sistem peminjaman pada perbankan syariah dapat digambarkan dalam tahapan berikut. Pertama, perbankan memberikan dana qard hasan pada pihak pengaju pinjaman dengan identifikasi: dana sesuai yang dibutuhkan dan dana untuk usaha produktif (apabila yang diajukan diawal untuk usaha konsumtif). Kedua, perbankan memberikan panduan pengelolaan dana untuk usaha konsumtif. Langkah ketiga adalah dengan memberikan pembinaan khusus untuk pengelolaan dana produktif dari produk qard hasan. Selanjutnya mengevaluasi hasil usaha dan tata kelola dari usaha tersebut. Dan langkah terakhir adalah bank syariah memberikan fasilitas trading house bagi pihak pengelola dana produktif.
4.      Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
Dalam prakteknya pada poin pertama jasa yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) untuk menalangi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) kurang tepat bila digunakan istilah al-Qardh (meminjamkan), karena dalam Islam, pinjam meminjam adalah akad sosial, bukan akad komersial. Artinya bila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas jasa pokok pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu, dalam Lembaga Keuangan Syari'ah pinjaman tidak disebut kredit, tapi pembiayaan (financing).
Dalam kasus ini, bila nasabah datang ke Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) dan ingin meminjam uang untuk keperluan naik haji karena biaya yang tersedia tidak cukup, maka ia harus melakukan akad ijarah (sewa) dan bukan akad qardh (meminjam). Karena jika LKS memberikan pinjaman kepada nasabah atas nama akad qardh untuk membantu menalangi pembiayaan haji, maka LKS tidak boleh mengambil keuntungan dari pinjaman itu.
Sebagai lembaga komersial yang mengharapkan keuntungan, LKS tentu tidak mungkin melakukannya. Karena itu, akad yang harus dilakukan di awal adalah akad ijarah (sewa), di mana LKS dapat mengambil keuntungan dari harga sewa atau harga produk yang disewakan tersebut. Akad seperti inilah yang diperbolehkan dalam Islam.[13]

F.     Manfaat dari Al-Qardh
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pengaplikasian al-qardh dalam lembaga keuangan syariah atau perbankan syariah antara lain:[14]
1.      Pertama pencitraan masyarakat dan nasabah terhadap performa Bank Syariah sebagai sebuah bank yang bisa memberikan bantuan dalam peningkatan perekonomian untuk kaum dhuafa.
2.      Kedua, bank akan dari awal bisa membina calon-calon nasabah potensial yang bisa dibantu melalui produk pembiayaan komersil yang dimiliki, karena telah teruji di saat nasabah tersebut menikmati produk Qardhul Hasan. Umumnya nasabah yang loyal akan memperlihatkan kolektibiliti yang baik sehingga Bank bisa membantu dari jumlah awal yang kecil (Qardhul Hasan) sampai ke jumlah yang besar (pembiayaan komersil).
3.      Ketiga, jika pengelolaan dana Qardh tersebut dilakukan dengan baik, hal ini akan mendorong keinginan dari muzakki lainnya untuk mempercayakan zakatnya untuk dikelola oleh Bank Syariah.
4.      Keempat, kepercayaan dari stakeholder akan lebih meningkat karena Bank Syariah bisa melakukan bisnis akhirat secara baik dan bisa memberikan manfaat bagi daerah. Kelima, secara tidak langsung, promosi terhadap produk-produk bank akan terbantu melalui nasabah qardhul hasan.
5.      Kelima,[15] secara makro qardh akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian Qard membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional (National Income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya.

G.    Contoh Aplikasi Al-Qardh dalam Perbankan Syariah (Bank Syariah Mandiri)
Salah satu bentuk aplikasi al-qardh dalam perbankan syariah adalah pemberian dana talangan haji.pembiayaan dana talangan haji pada Bank Syariah Mandiri adalah pinjaman dana talangan bank kepada nasabah khusus menutupi kekurangan dana untuk memperoleh kursi/seat haji dan pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji).
Besarnya noiminal BPIH sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Departemen Agama.untuk 5 tahun terakhir sejak 2005 sampai 2009 besarnya BPIH adalah Rp 20.000.000,- namun sejak Mei tahun 2010, BPIH naik menjadi Rp 25.000.000,-.
Persyaratan bagi nasabah (calon jamaah haji) adalah harus mempunyai atau membuka rekening “Tabungan Mabrur.” Tabungan mabrur merupakan jenis produk pendanaan bank, melalui tabungan mabrur nasabah bisa mendapatkan dana talangan haji BSM. Tabungan mabrur merupakan simpanan dalam mata uang rupiah yang bertujuan membantu masyarakat muslim dalam merencanakan ibadah haji dan umrah. Tabungan ini dikelola berdasarkan prinsip Mudharabah Muthlaqah, penyetoran awal terbilang Rp500.000,00. Tabungan Mabrur dilakukan nasabah yang ingin menabung untuk tujuan pebayaran BPIH, tetapi waktu nasabah bisa mendapatkan porsi haji tergantung dengan kemampuannya dalam menabung. Lain halnya dengan dana talangan haji yang sudah jelas nasabah dengan waktu cepat mendapat dapat porsi haji.

Batas waktu pembayaran pembiayaan dana talangan haji maksimal 1 tahun setelah pengajuan pembiayaan. Selama masa pembayaran, nasabah boleh mencicil atau langsung tunai, karena bank akan mengambil secara sekaligus pada saat akhir batas pembayaran melalui tabungan mabrur. Apabila nasabah tidak mampu membayar dari waktu yang sudah ditentukan, maka diberikan perpanjangan waktu untuk 1 tahun kedepan sampai sebelum 73 keberangkatan ibadah haji dengan membayar biaya administrasi satu tahun kedepan.
Dalam prakteknya, BSM dalam pembiayaan dana talangan haji bertindak sebagai penyalur yang membantu pengurusan pendafaran haji. Selanjutnya untuk daftar sebagai calon jamaah haji adalah tanggungjawab penuh nasabah. Nasabah (calon jamaah haji) memberikan kuasa pada bank untuk mengurusi semua yang menjadi persyaratan untuk mendapatkan porsi. Setelah berkas-berkas dan kekurangan BPIH untuk mendapatkan porsi sudah terpenuhi, maka nasabah bisa langsung daftar ke Departemen Agama.
Untuk pengajuan talangan haji BSM nasabah (calon jamaah haji) harus melalui beberapa tahapan. Secara garis besar, langkah-langkah penanganan Dana Talangan Haji pada Bank Syariah Mandiri, sebagai berikut:
1.      Tahap ke-1, BSM Cabang Malang menerima permohonan pembiayaan dana talangan haji dari nasabah
2.      Tahap ke-2, bagian marketing menganalisa dengan mengacu pada Pedoman Pembiayaan PT Bank Syariah Mandiri. Tbk.
3.      Tahap ke-3, pembukaan rekening Tabungan Mabrur BSM
4.      Tahap ke-4, meminta nasabah memenuhi saldo minimal Tabungan Mabrur BSM, self financing biaya pendafataran haji sebagai dasarpengajuan talangan pendafaran haji dan biaya-biaya yang dikenakan kepada nasabah.
5.      Tahap ke-5, bagian marketing menyerahkan data calon jamaah haji kepada kepala cabang. Pada tahap ini data-data yang telah dianalisa oleh marketing diajukan kepada kepala cabang untuk mendapat persetujuan.
6.      Tahap ke-6, bagian marketing membuat SP3, memo, dan akad Setelah mendapat persetujuan, membuat surat permohonan pengajuan pembiayaan, memo, dan akad. Dan akan diserahkan kepada calon jamaah haji yang mengajukan talangan.
7.      Tahap ke-7, bagian administrasi pembiayaan mengecek kelengkapan data calon jamaah haji.
8.      Tahap ke-8, bagian administrasi pembiayaan menyerahkan data MO dan KC dan menyerahkan kepada manager operasional dan kepala cabang untuk dianalisa kembali dan mendapatkan persetujuan. Kantor Cabang melakukan penandatanganan akad.
9.      Tahap ke-9, bagian administrasi melakukan pencairan dana langsung ke rekening tabungan calon jamaah haji serta menginput SPPH untuk mendapatkan porsi .
10.  Tahap ke-10, MO melakukan monitoring pada dana talangan yang diajukan.

Syarat-Syarat Permohonan Dana Talangan Haji
Sebelum melakukan permohonan dana talangan haji BSM, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon.
1.      Syarat Pemohon
Pemohon pembiayaan dibatasi hanya nasabah yang telah memiliki “Tabungan Mabrur BSM” dan menyetorkan BPIH melalui Bank dengan kriteria:
a)      Cakap hukum.
b)      Perorangan yang mempunyai pekerjaan yang tetap dan/atau yang menurut penilaian Bank diyakini memiliki kemampuan mengembalikan dana talangan haji tepat pada waktunya.
c)      Bersedia memberikan jaminan sesuai ketentuan Bank. Nisbah memberikan jaminan kepada pihak bank sesuai surat akad.
2.      Permohonan Dana Talangan Pendaftaran Haji:
a. Nasabah Perorangan, melengkapi:
·         Fotokopi KTP pemohon
·         Fotokopi KTP suami/istri pemohon (apabila telah menikah)
·         Fotokopi Kartu Keluarga dan Surat Nikah (bila sudah menikah)/Surat Cerai (bila janda/duda)
·         Surat pernyataan batal haji.
·         Surat permohonan pengunduran diri dari calon jamaah haji kepada Kantor Departemen Agama setempat
·         Surat kuasa pengurusan pembatalan haji.
·         Menyediakan kekurangan dana pendaftaran haji yang menjadi beban nasabah pada rekening Tabungan Mabrur BSM atas nama nasabah/calon haji
·         Fotokopi Tabungan Mabrur BSM. Nasabah dalam mengajukan talangan haji harus mempunyai Tabungan Mabrur BSM.
b. KBIH/PIHK, melengkapi:
·         Fotokopi Akta Pendirian/Anggaran Dasar.
·         Fotokopi KTP pengurus/pihak yang berwenang mengajukan permohonan pembiayaan sebagaimana diatur dalam Akte Pendirian/Anggaran Dasar
·         Fotokopi Surat Ijin Operasional dari Departemen Agama
·         NPWP (untuk pembiayaan dengan limit di atas Rp50 juta)
·         Daftar nama calon haji yang akan diajukan untuk memperoleh talangan pendaftaran haji
·         Menyediakan kekurangan dana pendaftaran haji yang menjadi beban seluruh calon haji di bawah tanggung jawab KBIH dimaksud pada rekening Tabungan Mabrur BSM atas nama masing-masing calon haji yang diblokir oleh bank
·         Fotokopi KTP calon jamaah haji yang akan diajukan untuk memperoleh talangan pendaftaran haji
·         Fotokopi Tabungan Mabrur BSM calon jamaah haji yang akan diajukan untuk memperoleh dana talangan haji.
Untuk permohonan pembiayaan dana talangan haji yang diajukan oleh KBIH/PIHK, selain surat permohonan dana talangan haji dari KBIH/PIHK, juga wajib dilampiri permohonan pembiayaan dan sudah menandatangani dokumen-dokumen yang melalui KBIH/PIHK.
Dalam pratek Akad Qardh, Bank tidak megambil keuntungan sesuai dengan Prinsip Syariah, bank hanya bertindak sebagai pemberi pinjaman dan nasabah hanya wajib mengembalikan pokok utang pada waktu tertentu yang sudah disepakati dimasa yang akan datang. Keuntungan didapat dari penggunaan akad ijarah, yaitu dengan mengambil upah jasa dari biaya administrasi atau lebih dikenal dengan (fee ujroh) dari setiap dana yang disediakan oleh bank. Biaya-biaya administrasi (fee ujroh) itu terbagi menjadi tiga kategori, diantaranya;
·         RP 1.000.000 (FEE UJROH)
·         RP 1.300.000 (FEE UJROH)
·         RP 1.500.000 (FEE UJROH)
Fasilitas Pembiayaan dana talangan haji Bank Syariah Mandiri:
1)      Pinjaman dana dalam bentuk rupiah.
2)      Jangka waktu maksimum pembayaran 12 bulan atau 1 tahun pembayaran dapat diangsur setiap bulan atau dibayar sekaligus sebelum jatuh tempo.
3)      Nominal talangan haji dan fee ujroh yang harus dibayar.
4)      Saat ini jumlah nominal yang disediakan oleh bagi calon haji yang menggunakan jasa Talangan Haji BSM adalah sebagai berikut:
·         Rp10.000.000,00 fee ujroh yang harus dibayar Rp1.000.000,00
·         Rp15.000.000,00 fee ujroh yang harus dibayar Rp1.300.000,00
·         Rp18.000.000,00 fee ujroh yang harus dibayar Rp1.500.000,00

Dana Talangan Haji Yang Disediakan Bank Syariah Mandiri
Talangan: Rp 10.000.000
Kekurangan biaya
Ujroh (upah jasa)
Minimal setoran awal tabungan mabrur
Total biaya
Rp 10.000.000
Rp 1.000.000
Rp 500.000
Rp 11.500.000
Talangan: Rp 15.000.000
Kekurangan biaya
Ujroh (upah jasa)
Minimal setoran awal tabungan mabrur
Total biaya
Rp 5.000.000
Rp 1.300.000
Rp 500.000
Rp 6.800.000
Talangan: Rp 18.000.000
Kekurangan biaya
Ujroh (upah jasa)
Minimal setoran awal tabungan mabrur
Total biaya
Rpp 2.000.000
Rp 1.500.000
Rp 500.000
Rp 4.000.000



[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2010), hal. 273-274.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 131.
[3] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2010), hal. 276.
[4] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 132.
[5] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2010), hal. 276.
[6] Ibid., hal. 278.
[8] Ibid.
[9] Sunarto Zulkifili, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2003), hal. 85-86.
[10] Ismail, Bank Syariah, (Kencana: Jakarta, 2011), hal. 214.
[11] Adiwarman A Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 215.
[13] Imron Al-Husein, http://alhushein.blogspot.com/2011/12/qardh.html, diakses tanggal 28 Maret 2012, pukul 18:40.
[15] Imron Al-Husein, http://alhushein.blogspot.com/2011/12/qardh.html, diakses tanggal 28 Maret 2012, pukul 18:40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar